Jumat, 26 April 2013

Saatnya Kartu Sakti yang Bicara


        Ini adalah kali pertama aku berurusan dengan polisi selama aku berkendara. Tiba-tiba seorang polisi meniup peluitnya dengan tangan kiri menunjuk ke arah kami memandu untuk berhenti di dekat pos jaga. Aku bersama teman yang memboncengku terkena ‘tilang’. bukan karena menerobos lampu merah atau kebut-kebutan tetapi,. Begini kronologisnya..
 Rabu, 24 April 2013 yang lalu. Tepatnya pukul 10.12 WIB ketika jam kuliah sedang kosong. Aku meminta seorang teman mengantarku ke Yayasan Ali Maksum Krapyak, Bantul. Sekedar mencari informasi mengenai pendaftaran siswa baru sekolah menengah atas, karena saudaraku ingin melanjutkan sekolahnya di Jogja, dan kurasa sekolah ini cocok untuk adikku.
            Dalam perjalanan, berhubung ada seorang teman yang menitipkan sebuah proposal kegiatan untuk dikirimkan ke museum Afandi, kami terlebih dahulu menuju kesana dan menitipkannya di pos satpam. Karena faktor waktu yang kurang begitu kondusif, kami segera melanjutkan perjalanan dengan memutar balik arah dan mencari jalan alternatif lain agar cepat sampai hingga tujuan. Berbagai kesialan menimpa kami sepanjang perjalanan dari mulai ban belakang terpeleset di lubang jalan hingga menyebabkan motor oleng. Tetapi beruntungnya temanku dapat mengontrol kestabilannya. :D
                Sialnya lagi ketika kami memakai jalur alternatif bukannya cepat sampai, tapi malah ramai dan macet, belum lagi jalannya kecil dan agak rusak. Seperti kata Emily Beth, “Sometimes the fastest way isn’t always the best way, sometimes the best things in life take a while”, meskipun konteksnya mungkin berbeda. Akhirnya, temanku memutuskan untuk lewat jalur utama, jalannya mulus kayak pantat bayi. ^_^
Di sinilah awal mula permasalahan itu muncul. Ketika kami menunggu lampu merah berubah menjadi hijau kami berbincang, mungkin ini yang membuat temanku lepas konsentrasinya hingga lupa bahwa lajur yang akan kami tuju adalah lajur satu arah dari arah yang berlawanan. Ketika kami tahu bahwa arah kami salah dan dari belakang pengendara lain terus menghujani kami dengan berbagai nada klakson, akhirnya seorang polisi keluar dari pos jaganya dan meminta kami untuk berhenti. Kami dipandu masuk ke pos jaga untuk diinterogasi. Perasaan was-was, deg-degan, dan khawatir muncul. Adrenalinku serasa terpacu dua kali lipat, mungkin karena pertama kali atau bagaimana dan kebetulan dompet saya tertinggal sedangkan STNK motor ada di dalamnya. Polisi itu sudah siap mengeluarkan catatan dengan bolpoin di dalam buku yang sudah terlihat usang.
“bisa lihat surat-suratnya dik?”                                                       
Kata pak polisi sambil membuka lembaran kertas kosong.
Aku pura-pura menggeledah tasku sambil bersandiwara bahwa aku lupa dimana aku meletakkannya. Tanpa sadar aku melihat kartu PERSku ada di sela-sela tumpukan barang di dalam tasku yang lusuh. Sensor otakku dengan segera mengingatkanku pada memori akan cerita wartawan lain yang juga pernah kena tilang tetapi di persilahkan pergi tanpa membayar denda atau meninggalkan identitasnya. Ya, Kartu pers adalah kartu sakti, melihat posisi wartawan dan Polri adalah sama-sama sebagai media sosial dalam jajaran masyarakat, aku langsung memperlihatkan kartu Persku kepada pak polisi dengan dalih sedang terburu-buru melakukan reportase. Seketika itu juga polisi tersebut mempersilahkan kami pergi.
“baik, jangan diulangi lagi ya...” begitu pesan pak polisi kepada kami. kemudian mengantar kami keluar pos.
Aku dan temanku segera menuju kendaraan dan langsung menancap gas menjauh dari pos polisi itu. Tak berapa lama, secara bersamaan seketika itu kami tertawa terbahak-bahak. Tak menyangka ini akan berhasil temanku juga merasa was-was selama berada di pos jaga tadi. Kami terus tertawa mengingat-ingat kejadian itu sepanjang perjalanan menuju Bantul. Jika dipikir-pikir kami tidak sedang dalam tugas reportase, hanya karena aku lupa membawa STNK akhirnya aku menggunakan cara ini. maaf ya pak polisi,  kayaknya saya jahat banget deh.. behuehehe :D saya gak akan mengulanginya kok pak, janji. (kecuali dalam keadaan genting :P)

Zed
Yogyakarta, 24-04-13

Kamis, 25 April 2013

Ujian Selesai = Masalah Usai?



Sore itu, dengan diselimuti canda gurau dan gelak tawa, beberapa mahasiswa terlihat lebih bahagia dari kondisi sebelumnya. Seperti layaknya renaisance, mereka seakan dibangunkan dari tidur panjang akan kehidupan tanpa hiburan yang selama seminggu harus mereka tahan. Sebuah fenomena unik yang terjadi tanpa mereka sadari telah menyita perhatian dan tak dapat mereka hindari.
           

         Fenomena ini baru aku sadari ketika ku lihat perbedaan pola dari hari-hari sebelumnya.  Hari yang biasanya pada jam pulang kuliah terlihat sepi dan tidak ada aktivitas lain selain belajar dan belajar. Ya, sekarang sedang dalam suasana Ujian Tengah Semester. Setiap mahasiswa sibuk melengkapi catatan-catatan mereka dengan cara meminjam catatan teman lain yang lebih rajin, atau sekedar mem-fotokopinya, ada juga yang tak ambil pusing dengan ketidaklengkapan catatan mereka.
            Hari-hari sebelumnya dimana mahasiswa sibuk dengan catatan-catatan yang semakin dibaca semakin membingungkan dan pastinya membutuhkan referensi buku lain sebagai penunjang. Bebas dari kertas-kertas yang tiap pagi selalu setia memberi salam hangat dosen pengampu, yang berharap mahasiswanya mampu melewati tiap baris pertanyaan yang telah disisipkan dilembar pertanyaan. Yang terdengar hanya suara ujung pena dengan kertas yang saling beradu bentur menyisakan luka gores berupa tulisan-tulisan, ungkapan kekesalan di dalam ruangan yang ketat akan penjagaan para supervisor. Kanan, kiri, depan dan belakang, semua pos sudah terisi oleh keberadaan mereka.
            Tapi sore itu bagaikan badai amnesia yang menimpa para mahasiswa, membuat mereka lupa akan semua yang sudah mereka lalui. Mereka seperti merasa sudah tak memiliki beban lagi, UTS telah usai. Sekarang waktunya bersenang-senang. Tidak ada lagi kegalauan dengan pelajaran, semua sudah ditinggalkan. Kampus kembali ramai dengan berbagai aktifitas yang bemacam-macam mulai dari yang tak bermutu seperti kejar-kejaran bak anak kecil, hingga kegiatan rutin seperti diskusi dan sebagainya.
             Fenomena ini sangatlah unik. Kehidupan ini menjadi sempit ketika manusia harus tersita perhatian serta kebahagiaannya hanya karena ujian akademik. Padahal, ujian ini bukanlah suatu hal yang amat vital dalam kehidupan dalam menentukan kesuksesan hidup seseorang di masa yang akan datang. Setelah UTS selesai mereka seakan tidak memiliki beban lagi. Pundak mereka seperti terasa ringan dan dapat kembali leluasa menjalani hari-hari selanjutnya dengan santai. Padahal jika kita pikir-pikir lagi, hidup ini tidaklah se-simple itu, ada banyak masalah yang ‘pasti’ masih menunggu untuk kita datangi dan kita pecahkan. Sebagai generasi muda, kita harus bersiap dalam menghadapi persoalaan-persoalan yang lebih rumit dalam kehidupan dari pada sebuah ujian di atas kertas. Persoalan mengenai masalah kesejahteraan rakyat yang semenjak dahulu tak kunjung usai.
             Sebagai mahasiswa, gelar maha adalah gelar tertinggi dalam tatanan kehidupan. Sebagai gantinya, kita juga harus menerima konsekuensi atas gelar yang selama ini melekat dalam diri kita.  Maha dan siswa, ini berarti bahwa kita bukan lagi siswa yang hanya memiliki kewajiban belajar saja, lebih dari itu kita juga memiliki tanggung jawab memajukan bangsa dengan mengkader diri sendiri menjadi warga dengan integritas, warga dengan ide-idenya memecahkan solusi atas permasalahaan yang selama ini menyelimuti negeri tercinta.

Zed

Yogyakarta, 11 April 2013
 

Selasa, 23 April 2013

No Rain No Rainbow

Rain caused the Rainbow
Rain can Live himself without the Rainbow but,.
Rain needs Rainbow to complete his life..
although it will lose him into the earth,.
that's because he wanted Rainbow to show her beauty..
As a part of body,.
Rain is a Man who has the whole body,
but still separated with a small piece of his left ribs
an the Rainbow is a piece of the ribs which complete the Man's body,..
together, they made a strong unity as a person..

 
Me And You as,..
Rain and Rainbow

Kamis, 18 April 2013

Kebahagiaan Manusia Modern



          Malam Minggu, sudah lazimnya buat anak muda melakukan ritual mingguan mereka. Jalan sama pasangannya, atau el-de-er-an, nge-date lewat telefon :D . kemarin bukannya jalan sama cewek eh, sepanjang mata memandang yang nemenin saya cowok semua -_- hadeh sial sial sial (upin ipin mode) :P,.
            Berawal dari mampir ke tempat temen SMA saya buat sekedar bertanya masalah yang saya alami ketika berhadapan sama pak de Corel. Dia sulit dimengerti dan nggak mau ngertiin saya. -_- Setelah fix dan masalah kelar, nggak sengaja lihat buku Dewi Lestari yang judulnya “Filosofi Kopi” di rak buku teman. Serentak langsung teringat ketika ada teman kampus yang lagi pengen baca buku ini. seketika itu juga lansung saya pinjam dan segera meluncur ke tempat Dunung, teman kampus yang lagi ngebet banget pengen baca buku ini. sialnya ketika sampai dan menunjukkan buku itu, ternyata dia sudah pinjam ke Perpus kota Jogja. Yasudahlah..
            Tapi perjuangan saya nggak sia sia setelah berjuang menghadapi gerimis yang cukup deras selama perjalanan ke tempat teman, nggak lama kemudian tiba-tiba si Pandu dan kawan-kawan lain yang juga temen kampus saya datang dan ngajak nongkrong buat sekedar ngopi-ngopi. Aseek, dari pada nge-GALAU di kamar berdua sama cowok, takut malah dikira ada apa-apa mending cabut lah.. hehe. :p
            Akhirnya setelah kumpul di pos ronda kita berdelapan; saya, Dunung, Pandu, Roni, Febrio, Anan, Anis dan Bena langsung chau. Tujuan utama adalah “Mato” kedai kopi daerah Selokan Matarm Jogja. Tapi karena tempatnya padat akhirnya kita cari tempat lain. Setelah berdebat panjang, lalu kita menuju “K 24” yang ternyata juga nggak menerima kedatangan kami. Capek muter-muter daerah Selokan Mataram mana gerimis lagi, bukannya malah cari minum yang ada malah ngasih minum motor. -_- Eh,. Ujung-ujungnya ngopi di deket kost-an. “Shine Cafe” di situ kita berhenti. Terlihat sepi nggak ada pengunjung. Entah kenapa kita jadi saling lirik satu sama lain, mungkin pikiran kita sama. Dengan canggung perlahan kita langkahkan kaki masuk. Kursi sofa yang sedari tadi nungguin gak sabar minta didudukin akhirnya kita hampiri. Waiter lalu menyodorkan menunya, dan kembali ke dalam untuk memberi kami waktu buat milih-milih.
            Akhirnya minuman pun datang. Lama kita ngobrol-ngobrol asyik dari ngobrolin dosen yang killer abis sampai nge-buly teman yang jomblonya gak ketulungan. Hehehe.. :D nggak terasa sudah jam 00.13 dan cafenya juga mau tutup jam 1.00 akhirnya kita balik.
 Yah, begitulah kebahagiaan manusia modern, mencari kebahagiaan dengan cara mempersulit diri. Eh? Gak nyambung.. maksud saya ngopi aja kok repot pake muter muter jauh segala, ujung-ujungnya ngopi di deket kost-an, mana menu mahal, kanker lagi. Hahaha  tapi kita tetep happy ajah. :D “gitu aja kok repot”

Zed
Yogyakarta, 13-04-2013

Sepak bola dan kejantanan pria



             Sudah gak asing lagi di negeri kita jika pria mencintai olahraga yang sangat fenomenal ini. Sepak bola, ya. Seakan menjadi tradisi turun-temurun yang menggeser tradisi asli pribumi, olahraga ini selalu diminati semua kalangan setiap tahunnya, mulai dari anak-anak hingga lansia. Sampai-sampai, ketika ajang piala dunia digelar. Setiap penonton dengan semarak mendukung tim andalannya masing-masing. Olahraga yang tidak hanya diminati oleh kaum pria bahkan wanita pun ikut menyenanginya ini seolah menjadi mainstream di Indonesia yang selalu dijadikan ukuran seberapa jantankah seorang pria tersebut.
         Tapi apa benar jika kejantanan pria harus diukur dengan olahraga ini? ini dia, sebuah pengalaman lucu ketika saya tengah asyik mengobrol seusai perkuliahan. Seketika itu saya ditanya,
“eh, semalem nonton Madrid sama Arsenal gak?” tanya seorang teman wanita kepada saya. “waduh, gue gak suka nonton bola, cuy!!” jawab saya. “ah, cowok macem apa loe?”. Dengan bibir kecut dia melihat dari ujung kepala sampai kaki.

          
          Seketika itu juga saya tertawa. "emang, cowok atau bukan itu diukur dengan kecintaannya pada sepak bola?” dalam hati berkata.  Jujur saya memang nggak begitu suka nonton bola kecuali pas indonesia sedang bertanding  melawan negara lain. Soalnya, suka geregetan kalau lihat permainan Indonesia. Asyik aja ngomentarin pemain Indonesia padahal sendirinya gak bisa main. Hehehe.  Pernah berusaha coba buat suka tapi nggak bertahan lama. Padahal kalau dipikir-pikir, sepak bola kan cuma sekedar olahraga favorit. Lagian Sepak bola juga tidak ada kriteria khusus yang memarginalkan wanita gak boleh main. Buktinya cowok cewek bebas bisa main. So, terserah dong mau suka olahraga apa. Ya nggak?  Saya sih lebih suka nonton Smack Down. Cowok banget kan? Hahaha :D
Tapi ya karena di Indonesia sudah jadi Mainstream ya mau gimana lagi. Sungguh fenomena yang amat mengerikan..!! Cuma ada di Indonesia loh,. Hehe ^_^



Zed

Yogyakarta, 10-04-2013